Wednesday, August 7, 2019

Terakhir di Umur 30

Kalau setahun sebelumnya saya menuliskan mengenai terakhir di angka 20-an, malam ini saya mau menuliskan mengenai terakhir di angka 30. Besok saya akan berumur 31 tahun. Rasanya? Banyak banget yang baru di usia 30 ini :D .



Berbeda dengan perasaan-perasaan yang saya rasakan saat menjelang 30 tahun, di tahun ini rasanya saya lebih banyak melakukan hal-hal baru, tanggung jawab baru, bertemu dengan orang-orang baru, serta merasakan perasaan serta energi yang berbeda dari tahun sebelumnya. 

Banyak sekali hal yang berkesan sepanjang tahun ini. Kalau mau di backward review di mulai dari hari ini yang sungguh berkesan sekali. Rasanya penuh sekali hati, jiwa, serta raga ini. Pagi-paginya saya berkesempatan kembali untuk berkegiatan bareng sebuah klab anak dan orang tua. Beruntungnya hari ini merupakan hari outing sehingga kita berjalan-jalan keliling Bandung naik Bandros. Siang-siangnya bersama dengan dua orang kawan mengantarkan saya buat beli sendal dan lanjut makan serta ngobrol-ngobrol hingga kami bertiga ingat bahwa hari sudah sore. Saya pun pergi ke tempat ngopi favorit serta menyicil pekerjaan yang tertunda. Saat waktu menunjukkan pukul empat, saya dan kedua orang kawan lainnya bertemu untuk lari bareng. Target hari ini adalah 5 km. Kalau dilipikir-pikir, mereka ini lari untuk nemenin saya. Asli ditungguin dong larinya dan ritme larinya kacau banget. Waktu saya mau nyerah, mereka bilangnya "pelan-pelan aja, kita lari bareng". Terharu gengs!!! Pulang lari, salah seorang kawan lainnya yang merupakan bakers udah nungguin kita buat bantuin ngabisin brownies bikinannya. Sebagai pecinta brownies bakar, saya bahagia banget!! Apalagi waktu lari sempet nyaris black out, serasa dapet siraman gula. Hatur nuhun pisan semuanya sudah membuat hari ini indah banget. 

Begitu pun hari-hari sebelumnya, saya bisa menonton Lion king bersama seseorang dan ngobrol ngalor ngidul. Di hari sebelumnya, saya pun ketemu buanyak banget orang-orang yang saya kangenin. You know who you are gengs!  Kayak pada ngumpul di satu kedai kopi bersamaan. Hari Minggunya saya dikasi kesempatan bertemu kembali dengan teman-teman SMP yang udah lama banget ga ketemu. Ini bisa terjadi karena seorang sahabat menikah di Surabaya. Asliiii terharu banget waktu kita ketemuan, sampe berkaca-kaca. Maklum, saat Februari kami bertemu masih pada galau sama hidupnya tahu-tahu kurang dari enam bulan seorang dari kami menikah. 

Bulan Juli saya disibukkan dengan persiapan pembukaan sekolah, rasanya dua tahun lalu sekolah ini masih diangan-angan dan akhirnya beneran resmi dibuka. Rasa haru, senang, dan bangga benar-benar menjadi satu. Terima kasih kawan-kawan Arunika Waldorf sudah membuat saya merasakan bekerja dan membangun mimpi dari nol. 

Dari sisi hura-hura, saya berkesempatan menyicip Prambanan Jazz bersama sahabat-sahabat yang biasa mendatangi festival literasi di pulau seberang. Berhubung tiket pesawat mahal kami pun banting steir nonton jazz :D . Menggila bersama, makan dan ngopi bareng, diselingi curhat curhat colongan sudah tentu dilakukan. Paling menarik dan istimewa dari perjalanan ini adalah kapan lagi ngantri toilet ditemenin lagu-lagunya Anggun serta Brian Mc Knight yang dibawakan langsung oleh mereka?! 

Saya pun sempat menonton Ed Sheeran bersama sahabat-sahabat saya. Terima kasih ya seharian itu beneran hari yang indah banget dan berasa di ulang tahunin karena selain menonton konser saya pun berkesempatan buat ngopi di sebuah kedai yang penasaran pengen saya kunjungi dilanjutkan malam-malam dapet kejutan go send dimsum dari seorang teman. 

Pengalaman baru lain yang saya dapatkan adalah menjadi bagian dari sebuah proyek bersama seorang sahabat yang memiliki kesamaan minat dibidang mindfulness. Kolaborasi dan menyatukan hal-hal yang kami senangi untuk membuat anak-anak serta orang tua menjadi lebih mindful lagi merupakan cita-cita yang selalu ingin kami wujudkan. Ini pun menjadi kali pertama saya mendapat tanggung jawab menyusun ritme, circle, serta dongeng sendiri. Hatur nuhun. 

Di awal tahun saya mendapatkan sekelompok pertemanan baru yang sangat doyan makan-makan. Semakin ke sini tentu hubungan kami di dalamnya berubah tidak hanya sekedar teman ngopi dan makan enak tapi juga pertemanan sehat serta tempat curhat-curhat colongan. Drama dan gonjang ganjing tentu menghiasi pertemanan kami, tapi menurut saya ini adalah hal yang lumrah. Bagaimanapun pertemanan tentu tidak lepas dari proses ini hingga akhirnya kami tetap bisa berteman baik serta makan enak. Selain itu beberapa orang yang biasanya saya tahu dari blog atau cuitan twitternya aja, sekarang menjadi teman. Asli awal-awal star struck banget dan ga pernah tepikirkan akan beneran kenal secara personal. 

Di lain kesempatan saya pun mendapatkan pengalaman baru dengan mengikuti kegiatan trauma healing anak sekolah dasar di beberapa sekolah di Sigi dan Palu. Sebuah pengalaman yang asyik dan terharu banget. Rasanya saya bisa mengeluarkan ilmu-ilmu yang beberapa tahun ini saya pelajari untuk diberikan kembali ke anak-anak. 

Selain ini semua, setiap individu, sahabat, serta teman-teman yang saya temui di sepanjang perjalanan tahun ini tentu tidak bisa disebutkan stau persatu. Ada yang datang dan pergi, ada yang berpindah ke lain kota, ada yang datang ke Bandung, ada sepupu-sepupu tersayang yang saya temui di sepanjang tahun ini dan cerita-cerita di dalamnya tentu tidak bisa dituangkan semuanya dalam satu tulisan ini. Dua kata untuk tahun ini adalah sungguh berwarna!! Banyak hal baru yang terjadi, banyak perasaan-perasaan yang sudah lama tidak dirasakan mampir disepanjang tahun ini, ada mimpi-mimpi yang terwujud serta hal-hal lainnya yang akan dicoba. Terima kasih, hatur nuhun Sang Maha Pemberi Kehidupan. 

Semoga esok dan seterusnya saya dapat menjadi lebih baik lagi, lebih dapat memberikan manfaat untuk banyak orang, aamiin!!

Friday, July 19, 2019

Upacara Kembang Munggaran

Dua tahun, tidak tiga? Empat? Lima? Bahkan saat saya memutuskan untuk mengambil keprofesian psikologi pendidikan, tidak pernah terbersit di dalam pikiran saya untuk bergotong royong bersama banyak orang lainnya untuk membangun sebuah sekolah.

Tepat tanggal 13 Juli 2019 kemarin, kami resmi membuka sekolah dan mengadakan upacara penerimaan siswa dari orangtuanya. Upacara tersebut dinamakan Kembang Munggaran. Apabila di sekolah Waldorf lain ada yang menamakannya sebagai flower ceremony, di Bandung pun disebut seperti itu tapi dalam bahasa Sunda. 

Upacara Kembang Munggaran dibuka dengan pengguntingan janur pada gerbang sekolah dan pembacaan sebuah syair. Acara pun dilanjutkan dengan orang tua yang menghantarkan anaknya hingga pintu gerbang, melepaskannya untuk berjalan sendiri melalui gerbang, hingga diterima oleh gurunya dan anak tersebut diberikan sebuket bunga Matahari serta pouch kecil yang bertuliskan nama mereka masing-masing. Selama prosesi itu, segenap komunitas Arunika menyanyikan lagu Mentari dari Abah Iwan diiringi dengan petikan gitar. Saya dan teman-teman yang harusnya bernyanyi, boro-boro bisa bernyanyi, yang ada pada mewek tak tertahankan!!! Akhirnya saya menyadari kenapa kemarin banyak banget yang memakai kacamata hitam. Ternyata selain untuk menghalau sinar matahari, fungsinya juga untuk biar ga keliatan kalau mata lagi penuh air mata. 

Kami yang menangis, merupakan orang-orang yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dana, dan banyak hal hingga sekolah ini berada seperti saat ini dan pada hari Senin dapat memulai perjalanannya bersama enam orang anak lainnya. Rasanya beneran ga percaya apa yang dua tahun lalu masih diangan dan diimpikan, saat ini sudah berbentuk dan mulai berjalan.

Setelah anak-anak berkumpul di seberang gerbang, kamipun berjalan bersama menuju saung yang merupakan ruangan kelas satu. Anak-anak, orang  tua, serta segenap komunitas yang hadir ikut mendengarkan sambutan yang dibacakan oleh guru kelas satu. Dimulai dari syair berbahasa Sunda, surel yang dikirimkan oleh mentor kami tersayang, hingga sambutan dari guru kelasnya sendiri. Setelah itu juga dilakukan pembicaraan berhubungan dengan apa-apa saja yang akan diberikan dan diterima oleh siswa-siswa nantinya. Setelah pembicaraan ini selesai, acara pun ditutup dengan makan ringan bersama di area saung sekolah yang lain. 

Upacaranya begitu sederhana namun sungguh penuh dengan kehangatan. Saya benar-benar tidak mengira apa yang kami upayakan dari dua tahun yang lalu, mulai terlihat bentukannya. Betapa beruntungnya saya berada di sebuah komunitas yang saling mendukung. Tulisan ini pun ingin saya tutup dengan kutipan dari mentor kami:

Help each other to carry the load, forgive mistakes and be thankful about the learning by mistakes. Be always sure, that everyone is giving the best. Trust that Arunika will overcome all stormy times and that Arunika will have much more wonderful sunny days and years ahead. 



PS. Fotonya didapat dari kumpulan foto milik SD Arunika

Wednesday, May 29, 2019

Ada fenomena yang membuat saya dan dua orang sahabat perempuan tergelitik saat sedang memindahkan instalasi pembatas dari sebuah universitas ke sekolah yang sedang gotong royong dibangun. Instalasi pagar yang ingin dipindahkan ini merupakan instalasi yang terbuat dari bambu dan memiliki tinggi sekitar satu hingga dua setengah meter dengan panjang dua hingga lima meter dan terdiri dari enam modul. Kebayang dong panjang banget dan untuk memindahkannya kami perlu mengakali dengan membagi instalasi pagar menjadi beberapa potongan di tiap modulnya. Pada saat itu kami hanya memiliki satu orang tukang yang bertugas memotong beberapa bagian modul serta dua orang petugas yang memindahkan potongan-potongan tersebut ke dalam mobil bak terbuka. Lalu siapa yang membantu tukang tersebut? Ya kami bertiga!!

Saat itu kondisi kampus sedang ramai dan bahkan di area kami memotong dan membagi instalasi pagar pun terdapat beberapa mahasiswa dengan peer groupnya sedang berdiskusi. Anehnya tidak ada seorang pun yang kepo dengan apa yang sedang kami lakukan. Tidak ada yang bertanya ataupun turun membantu melihat kami sedang riweuh mendorong, mengangkat, ataupun menidurkan bagian pagar bambu yang sudah dipotong. Kalaupun ada yang menyapa dan berkomentar adalah seorang dosen yang bersedih karena instalasi pagar bambu yang cantik itu harus dipindahkan. Sampai seorang teman akhirnya bertanya dan meminta tolong kepada beberapa mahasiswa yang sedang berjalan untuk membantu, tapi nihil. Mahasiswa tersebut hanya mempercepat langkahnya dan pergi meninggalkannya dan saya yang kelelahan mengangkat instalasi pagar bambu tersebut. 

Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia ini?
Tidak adakah keinginan untuk mengetahui lebih apa yang terjadi dengan sekitarnya?
Sudah begitu antipatikah orang-orang disekitar hingga tidak ada sapa ataupun keinginan untuk membantu saat melihat orang lain kesusahan?

Hingga akhirnya pertayaan-pertanyaan ini pecah di mobil saat perjalanan pulang dari sekolah. Kami bertiga merasakan sebegitu individualnya kah dunia ini sekarang? Hingga yang tertinggal hanya pemikiran kritis serta antipati terhadap sekitar? Tapi tidak terlihat ada yang berusaha untuk terjun langsung membuat apa yang ada dipikirannya menjadi kenyataan, tidak ada simpati, ataupun keinginan untuk menolong sesama. Padahal melalui kolaborasi dan berkontribusi justru kita akan semakin kaya secara pemikiran, perasaan, maupun keahlian untuk mewujudkan sesuatu. 

Saya berdoa kencang dalam hati supaya ini hanya saya yang salah paham, bahwa kami hanya sedang sial. Tapi kemudian saya mengingat apa yang terjadi dengan mahasiswa-mahasiswa yang ada di kampus saya sekarang dan persamaan perilakunya. Begitupun dengan beberapa teman yang memiliki rentang umur dewasa muda yang perlu diajarkan dan diingatkan untuk bersikap maupun menolong pihak lain. Sebegininya banget nih?!

Melihat fenomena di atas, saya kembali teringat bahwa semuanya berasal dari pendidikan, dari sekolah. Apalagi saat ini dengan semakin tingginya keinginan orang tua dan sekolah untuk mencetak murid yang cerdas secara kognisi dan berlomba-lomba memiliki prestasi terbaik. Hanya saja ada yang terlupakan ketika hanya bagian kognisi dan motivasi berprestasi yang diasah. Bahwa hidup tidak melulu mengenai nilai-nilai yang ada dirapot maupun ditranskrip. 

Mendidik anak untuk dapat bertahan diberbagai zaman dan tantangan ke depan adalah sesuatu yang tak kalah pentingnya. Hal ini tentu tidak hanya memerlukan kognisi, namun juga mengasah perasaan untuk dapat bersimpati dan berempati terhadap lingkungan sekitarnya serta memiliki dorongan dan motivasi internal untuk dapat berkontribusi terhadap dunia. Tidak hanya saling menyikut untuk dapat menjadi yang terbaik.

Educating the mind without educating the heart is no education at all.
- Aristotle -

Rasanya keinginan saya untuk makin berkontribusi di sekolah Arunika Waldorf menjadi semakin kencang. Saya menjadi semakin menyadari pentingnya ada sekolah ini agar ke depannya setidaknya ada beberapa orang yang dapat dengan bebas mengetahui tujuan dan arahannya. Seorang manusia yang memiliki dorongan yang kuat untuk dapat berkontribusi terhadap dunia, menjadi orang yang bermanfaat untuk lingkungannya, dan dapat memberikan dunia yang tidak hanya indah, tapi juga aman dan menginspirasi berbagai pihak. 

Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education
- Rudolf Steiner -




Saturday, May 25, 2019

Mengapa Pendidikan Waldorf?


Banyak kolega, teman, maupun kawan yang sering bertanya mengapa saya memilih untuk mendalami sebuah pendidikan yang masih baru di Indonesia ini. Bahkan saya mau mengikuti pelatihan untuk menjadi guru di Bangkok untuk mengetahui lebih jauh mengenai pendidikan Waldorf! Jawaban saya ada di video Waldorf 100 baik part 1, part 2, maupun part 3-nya. 


Pendidikan Waldorf menjadi pendidikan alternatif di zaman yang serba cepat dan instan. Menurut saya pribadi mereka mengajarkan anak-anak untuk bisa bertahan di setiap situasi yang akan mereka hadapi nantinya. Hal ini karena Pendidikan Waldorf membantu anak-anak tidak hanya membangun keterampilannya tapi juga mengetahui kapasitas yang mereka bisa lakukan untuk menyelesaikan tantangan-tantangan hidupnya. 

Selain itu Pendidikan Waldorf sejalan dengan berbagai teori perkembangan anak yang saya lahap saat berada di bangku kuliah. Pendidikan usia dini menjadi sangat krusial karena merupakan pondasi dari jenjang-jenjang pendidikan ke depannya. Oleh karenanya banyak yang mengatakan masa-masa lima tahun pertama anak adalah masa-masa golden age. Seringnya kita saya lupa bahwa walaupun disebut masa keemasan, tapi tetap pondasi awal yang terbangun adalah berasal dari gerak, melihat alam sekitar, belajar berempati, serta memberikan contoh-contoh perilaku yang baik kepada anak sebagai bekal untuk menjadi manusia yang utuh dan memanusiakan manusia. 



Selama tujuh tahun pertama, anak-anak mengembangkan pondasi tubuh mereka untuk kehidupan. Mereka menjelajahi dan mengalami dunia dengan indera mereka dan melalui pertemuan-pertemuan dengan banyak hal. Pertemuan-pertemuan awal dalam kehidupan ini memiliki pengaruh yang dalam dan efek jangka panjang pada pembentukan diri mereka sendiri. 

Ketika saya menemukan pendidikan yang sangat manusiawi ini, bagaimana saya tidak jatuh cinta? Apalagi di tengah kehidupan yang ga santai ini, terlalu serius, dan terlalu banyak jurang pemisah hingga melupakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Bagaimana caranya? Untuk dapat bermanfaat bagi manusia lainnya, ia perlu mengenal dirinya dan memberi makna bagi kehidupannya. Ini sesuai sekali dengan tujuan Pendidikan Waldorf untuk menghasilkan individu yang mampu dalam diri dan diri mereka sendiri untuk memberikan makna bagi kehidupan mereka melalui pendidikan yang menyeluruh melalui tangan, hari dan kepala.

Friday, May 17, 2019

Perubahan

Are you willing to lose everything?
Are you willing to have nothing and lose everything?
Because if the answer is "no",
you will never change.


Di tengah-tengah percakapan soal apa yang didapat salah seorang sahabat saat menghadiri konferensi guru-guru Waldorf di Bangkok, ia menceritakan mengenai sebuah puisi dari satu orang yang menampar keras dirinya. Ketika puisi yang menjadi pembuka tulisan ini dibacakan kepada saya dan sahabat yang lain, rasanya jleb!!!

Perlu jeda beberapa saat untuk kami semua menyerap puisi singkat yang disampaikan olehnya. Sudah sejauh mana kami melangkah? Apakah benar-benar sudah sesuai dengan niatan awal? Apakah kita sudah memiliki kesediaan itu?

Percakapan pun berlanjut sambil saya merasakan kembali apa-apa yang sudah dan sedang terjadi. Untuk membuat sebuah perubahan, memang ada seseuatu yang harus diubah, entah ritme yang sudah dibangun perlu dihancurkan, atau menurunkan ego yang sudah tinggi untuk bisa kembali berubah menjadi lebih baik lagi. Rasa-rasanya pertanyaan yang saya ajukan beberapa minggu lalu langung terjawab.

Perubahan memang selalu datang. Tapi apakah kita semua sudah siap dengan hal tersebut? Seperti puisi di awal paragraf, apakah kita sudah siap untuk kembali ke titik nol untuk sebuah perubahan? Kembali menjadi bukan siapa-siapa atau tidak memiliki apapun.

Saya pun teringat mengenai pentingnya cerita-cerita Grimms bersaudara didongengkan untuk anak-anak walaupun ada beberapa adegan yang terlalu sadis bila dibandingkan dengan versi disneynya. Cerita ini menjadi bagus untuk anak-anak dikarenakan secara tidak sadar anak-anak belajar bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan akan selalu ada pengorbanan, entah dalam bentuk apapun. Hingga harapannya saat mereka dewasa kelak, meraka paham bahwa untuk mencapai suatu tahap kedewasaan ataupun sisi spiritualitas akan ada bagian manusiawi dan ego yang perlu dilepaskan.

Bukankah begitu dengan hidup, untuk menjadi lebih dewasa, kita perlu melepas sesuatu untuk mencapai sisi yang lebih baik lagi. Begitupun sebagai makhluk yang datang ke bumi dengan membawa kebijaksanaan dari dunia spiritual dan sebagai manusia terkadang kita terlalu tenggelam dalam keduniawian sehingga lupa bahwa kita pun sedang dalam perjalanan untuk kembali ke dunia spiritual dan untuk mencapai hal itu, ada suatu bagian dari keduniawian kita yang perlu dilepaskan.

Are you ready to change?

Saturday, May 11, 2019

Don't grieve.
Anything you lose comes round in another form.
-Jalaluddin Rumi

Beberapa minggu ini saya sedang masygul dan pada akhirnya kembali melakukan latihan-latihan yang dapat membantu untuk kembali menjejakkan diri di tanah. Saya mulai melakukan meditasi pernafasan, membereskan dua buah nakas di kamar, serta melakukan beberapa gerakan untuk membantu saya kembali mindful

Selain latihan-latihan di atas, saya juga melakukan perawatan diri secara ke dalam. Saya kembali mengingat sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang guru saat teacher training di Bangkok kemarin. Beliau mengingatkan bahwa saat kita sedang sangat senang maupun sedih, sebetulnya bagian dari diri yang manakah yang sedang terbangun? Karena terkadang rasa bahagia dan sakit adalah sebuah peluang dalam kehidupan untuk kita mencari tahu apa yang ingin disampaikan Tuhan melalui kebahagiaan maupun tragedi yang terjadi, sehingga kita tidak terlena di dalam sana. 

Bentuk perawatan diri yang lain adalah saya menulis jurnal mengenai kejadian serta perasaan saya pada hari itu. Ini merupakan salah satu cara untuk menyalurkan apa yang ada dipikiran supaya tidak menjadi penyakit. Selain itu saya pun membaca kembali catatan-catatan teacher training yang berhubungan dengan biographical works

Tentu melakukan semua hal ini bukan hal yang mudah. Pada saat sedang bersedih, saya pun memberikan ruang dan waktu untuk membiarkan perasaan ini timbul. Karena perasaan sedih ini merupakan perasaan yang wajar dirasakan. Toh kita tidak harus selalu terlihat bahagia. Namun, setelah beberapa saat sudah saatnya kembali ke dunia nyata. Kembali tertuju pada apa yang menjadi tujuan besar di dalam hidup: menjadi manusia yang berguna untuk sekitarnya. 

Setelah itu tak lama, Tuhan pun menjawab doa saya. Perlahan satu demi satu saya dipertemukan kembali dengan sahabat, kawan, dan teman yang membantu saya mengingat apa yang perlu saya lakukan. Serasa kembali ke jalannya. 

Saya pun yakin, bahwa niatan baik tidak pernah salah. Kalaupun ada yang hilang dari permasalahan yang kemarin saya  hadapi, seakan-akan Tuhan tidak ingin saya bersedih lama-lama. Lewat instagram, twitter, pesan singkat, dan pertemuan dengan banyak orang yang dekat dengan saya ada saja pesan-pesan yang mengingatkan untuk terus berjalan dan seperti kata-kata di paragraf paling atas, bahwa yang pergi akan kembali dengan bentuk yang berbeda, sesuatu yang lebih baik. 

Thursday, December 20, 2018

Pendidikan yang Baik untuk Anak

Setiap orang memiliki gambaran hidup yang ideal. Termasuk bagaimana ia akan mendidik anak-anaknya. Di zaman dengan kemudahan akses informasi dan derasnya pengetahuan praktis membuat orang tua mempunyai banyak informasi mengenai tumbuh kembang anak serta pilihan pendidikan yang baik untuk anak kelak. Saking banyaknya, tidak banyak orang tua yang akhirnya kebingungan dalam memilih pendidikan untuk anaknya. Seringkali kita menemukan banyak orang tua yang telah mencari informasi mengenai sekolah dasar yang akan dimasuki anaknya bahkan ketika usia anak masih di bawah lima tahun.

Sesungguhnya seperti apakah pendidikan yang baik untuk anak?

Saya tidak bisa mengatakan bahwa sebuah pendekatan pendidikan lebih baik daripada yang lain ataupun sebaliknya. Saya pribadi akan bertanya kembali ke orang tua, anak yang seperti apa yang diinginkan oleh orang tua? Apakah anak yang memiliki pendidikan akhlak sehingga setiap langkahnya selalu sesuai dengan ajaran agama tertentu? Apakah anak yang memiliki keinginan kuat untuk dapat melaksanakan mimpinya dan menyelesaikan setiap ada rintangan yang menghadangnya? Atau anak yang kelak dapat bekerja sebagai PNS? Setelah pertanyaan ini terjawab, tentu akan memudahkan orang tua dalam menetapkan sekolah maupun pendekatan pendidikan yang sesuai dengan tujuan orang tua dalam membesarkan anaknya.

Saya yakin semua orang tua tentu menginginkan anak-anak mendapatkan pendidikan yang terbaik sebagai persiapan menghadapi dunia di masa depan. Orang tua tentu menginginkan anak-anak tumbuh dengan sehat dan dapat berlaku baik terhadap lingkungannya. Hanya saja yang terkadang terlupakan adalah hidup sehat seperti apa yang dimaksudkan? Perilaku baik seperti apa yang diharapkan?

Ketika orang tua dapat melakukan klasifikasi dan memilah informasi yang didapatnya dan disesuaikan dengan tujuan dan harapan orang tua terhadap anak-anak, pendekatan pendidikan yang cocok untuk orang tua pun akan semakin terlihat. 

Tuesday, August 7, 2018

Terakhir di Umur 20-an



Ini akan mejadi tulisan terakhir saya sebelum angka depan usia saya berubah. 

Hampir semua orang mengalami ketegangan ketika mencapai akhir usia 20-an, termasuk saya. Mungkin esok hari tidak ada yang berubah drastis karena sejatinya setiap hari usia kita selalu bertambah, kita berubah, dan selalu berusaha mencari bentuk yang sesuai untuk diri kita saat ini. Lalu apa yang membuat tegang?

Mungkin perubahan angka depan itu sendirilah yang membuat tegang. Wouw saya sudah memasuki kepala 3!!! Sudah menikahkah? Punya anak berapa? Sudah punya tabungan sebanyak apa, atau investasi apa saja yang sudah mulai dilakukan? Karena saat memasuki usia 30-an produktifitas semakin menurun, mulai berpikir mengenai hari pensiun nanti. Seketika permasalahan seperti diputusin, ga bis aikut ujian kuliah, atau skripsi yang tak kunjung berakhir jadi sesuatu yang ringan. Saya bisa sampai melihat hal ini karena sudah melaluinya dan ternyata masih bisa hidup. Mungkin kalau orang tua mengatakan "sudah makan asam garamnya". Oh beneran udah berasa tua kalau seperti ini!! Eh matang ding.

Akan tetapi selain pertanyaan di atas, untuk kasus saya ada pertanyaan lain yang mengusik. Pertanyaan seperti sudah sejauh mana saya bermakna dalam hidup ini? Sudah sejauh apa pencapaian yang saya lakukan? Sudah sebermanfaat apa saya untuk dunia? Hal ini membuat saya kembali menyelami hari-hari diusia 20an.

Saya teringat akan masa-masa kuliah S1, sibuk main, belajar, pacaran, menyelesaikan kuliah, mencoba mencari pekerjaan, liburan semaunya, memutuskan kembali kuliah, patah hati, dan kembali ke titik nol. Mungkin itu adalah titik balik dalam sejarah panjang jalan yang saya lalui. Mulai dari titik itu dunia semakin berwarna dan bermakna. Mencoba sangat banyak hal baru, berpikir dari sudut pandang yang lain, berusaha menyelesaikan masalah dan beban di pundak, menjadi lebih baik lagi, serta menjadi semakin bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. 

Di akhir usia 20-an ini semua menjadi semakin masuk akal, semakin menyadari jalan panjang yang dilakoni untuk membuat saya berada di titik ini hari ini. Beberapa teman terdekat pun menyadari perubahan-perubahan yang dialami dan menghasilkan saya hari ini. Saya semakin sayang dan sadar akan diri saya. Mungkin belum seutuhnya, belum sempurna, karena hidup ini sungguh jauh dari kesempurnaan. 

Esok hari usia saya akan berubah, mungkin tidak ada perubahan signifikan. Muka dan fisik sudah tentu tetap akan disebut usia awal 20-an. Namun ijinkan saya mengucapkan terima kasih untuk semua orang yang sudah mewarnai kehidupan diusia 20-an. Berkat kalianlah, saya bisa menjadi saya hari ini. Peluk untuk kalian semua. 

may my soul bloom in love for all existence 
(Rudolf Steiner)

© WANDERER 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis